LAPORAN
HEPATITIS B
Disusun
Oleh:
Solehati Nur Fadilah (15401.06.13046)
DIII
KEBIDANAN
STIKES
HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG PROBOLINGGO
2013/2014
HALAMAN PENGESAHAN
Halaman Pengesahan dan Asuhan Kebidanan
“Hepatitis B”
Yang Disusun oleh:
Solehati nur Fadilah (15401.06.13036)
Sudah sesuai dengan outline dan telah
disetujui oleh Dosen pembimbing untuk mendapat pengesahan sebagaimana mestinya.
Genggong, 13 November 2013
Menyetujui
Dosen
Pembimbing
IIT
ERMAWATI,Amd.Keb.,S.Kep.,M.Kes
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit hepatitis merupakan suatu
kelainan berupa peradangan organ hati yang dapat disebabkan oleh banyak hal,
antara lain infeksi virus, gangguan metabolisme, obat-obatan, alkohol, maupun
parasit. Hepatitis juga merupakan salah satu penyakit yang mendapatkan
perhatian serius di Indonesia, terlebih dengan jumlah penduduk yang besar serta
kompleksitas yang terkait. Selain itu meningkatnya kasus obesitas, diabetes
melitus, dan hiperlipidemia, membawa konsekuensi bagi komplikasi hati, salah
satunya hepatitis (Wening Sari, 2008). Hepatitis virus merupakan infeksi
sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang
khas (Bar, 2002).
Hepatitis
telah menjadi masalah global. Saat ini diperkirakan 400 juta orang di dunia
terinfeksi penyakit hepatitis B kronis, bahkan sekitar 1 juta orang meninggal
setiap tahun karena penyakit tersebut. Hepatitis menjadi masalah penting di
Indonesia yang merupakan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia (Wening
Sari, 2008). Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan infeksi yang unik. Tidak
banyak jenis virus yang menyebabkan infeksi pada seseorang dengan memberikan
dampak sosial-ekonomi yang besar karena penyakit ini menyebabkan infeksi pada
populasi dalam skala dunia, dan variasi penampilan kliniknya yang sedemikian
beraneka ragam (bisa dalam bentuk hepatitis akut, hepatitis kronis tidak aktif,
hepatitis kronis aktif, sirosis hati atau kanker hati) (Cahyono, 2010).
B.
Tujuan
Penulis
1. Untuk mengetahui latar belakang tentang penyakit hepatitis B.
2. Untuk mengetahui komplikasi dan gejala pada penyakit hepatitis B.
3. Untuk mengetahui diagnosis pada penyakit hepatitis B.
BAB II
TINAJAUAN TEORI
A.
HEPATITIS B
I.
Definisi
Hepatitis B adalah infeksi pada hati yang berpotensi
menyebabkan kematian yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Hepatitis B
merupakan masalah kesehatan global utama dan merupakan jenis yang paling serius
dari semua jenis Hepatitis. Penyakit ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis
dan bisa menyebabkan penderitanya beresiko tinggi mengalami kematian akibat
komplikasi lebih lanjut menjadi sirosis hati dan kanker hati. (WHO, 2008)
Hepatitis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan
oleh virus disertai dengan nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang
menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokomia serta seluler yang khas.
Hepatitis B merupakan peradangan pada sel-sel hati yang disebabkan oleh HBV
(Hepatitis B Virus) dan ditularkan melalui kontak darah maupun cairan tubuh.
(Brunner & Suddarth, 2002: 1169)
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh
virus, bersifat akut, terutama ditularkan secara parenteral tetapi bisa juga
secara oral, melalui hubungan seksual antara penderita dan orang lain, dan dari
ibu ke bayi. (Dorland, 1998: 502)
II.
Fisiologi
Hepatitis B bersifat serius yang tersebar di seluruh
dunia, dengan penderita infeksi kronis lebih dari 300 juta orang. Di beberapa
negara, terutama di Asia Tenggara, Cina dan Afrika, HBV terjadi endemik, dengan
separuh dari penduduknya pernah terinfeksi dan lebih dari 8% penduduknya
menjadi pembawa kronis virus tersebut. (Elizabeth J. Corwin, 2009: 667)
Di dunia, setiap tahun sekitar 10-30 juta orang
terkena penyakit Hepatitis B. Walaupun penyakit Hepatitis B bisa menyerang
setiap orang dari semua golongan umur tetapi umumnya yang terinfeksi adalah
orang pada usia produktif. Ini berarti merugikan baik bagi si penderita,
keluarga, masyarakat atau negara karena sumber daya potensial menjadi
berkurang.
III.
Etiologi
Hepatitis disebabkan oleh infeksi dari HBV (Hepatitis
B Virus). Beberapa faktor predisposisi terjadinya penularan Hepatitis B adalah:
1. Kontak dengan darah,
sekresi dan tinja dari manusia yang terkontaminasi.
2. Kontak melalui
hubungan intim seksual.
3. Penularan perinatal
(Lippincott William & Wilkins, 2008: 261)
Cara umum penularan Hepatitis B di negara berkembang
adalah:
1. perinatal (dari ibu
ke bayi saat kelahiran).
2. infeksi awal pada
masa kanak-kanak (infeksi subklinis melalui kontak interpersonal dengan
kelompok yang terinfeksi).
3. penggunaan jarum
suntik sembarangan.
4. transfusi darah.
5. hubungan seksual.
(WHO, 2008)
HBV adalah suatu virus DNA untai ganda yang disebut partikel Dane. Virus
ini memiliki beberapa antigen inti dan antigen permukaan yang telah diketahui
secara rinci dan dapat diidentifikasi dari sampel darah hasil pemeriksaan lab.
HBV memiliki masa tunas yang lama, antara 1-7 bulan dengan awitan rata-rata 1-2
bulan. (Elizabeth J. Corwin, 2009: 667)
IV.
Tanda Dan Gejala
Penyakit
Hepatitis B adalah infeksi serius pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B. Pada beberapa orang infeksi hepatitis B dapat menjadi kronis dan
menyebabkan kegagalan hati, kanker hati atau kerusakan pada jaringan hati.
Virus Hepatitis B menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Jika tidak segera
diobati, maka infeksi penyakit bisa menyebabkan penyakit hati kronis dan
mengancam keselamatan jiwa penderitanya. Karena itu, vaksinasi perlu diberikan
pada mereka yang belum memiliki kekebalan tubuh terhadap virus tersebut.
Salah satu
gejala hepatitis B yang khas adalah perubahan warna kulit di area yang putih
menjadi kekuningan. Oleh karena itu, di beberapa daerah di Indonesia penyakit
ini sering disebut dengan "Penyakit Kuning". Banyak orang yang
mengalami hepatitis B dapat sembuh bahkan jika tanda dan gejalanya parah.
Karena itu,penting bagi kita untuk mengenali gejala-gejala penyakit ini.
Berikut ini beberapa gejala khas dari penyakit Hepatitis B yang harus
diwaspadai. Tanda dan gejala hepatitis B biasanya muncul setelah dua sampai
tiga bulan setelah anda terinfeksi dan gejalanya dapat bervariasi dari yang
ringan sampai parah. Tanda dan gejala hepatitis B antara lain:
1.
Nyeri pada area perut
2.
Urin yang berwarna gelap
3.
Nyeri sendi
4.
Hilang nafsu makan
5.
Mual dan muntah
6.
Lemah dan kelelahan
7.
Kulit dan area putih pada mata menjadi kuning
V.
Gejala Klinis
Gejala
Hepatitis B mirip gejala flu. Kadang-kadang sangat ringan bahkan tida
menimbulkan gejala sama sekali. Hanya sedikit orang yang terinfeksi menunjukkan
semua gejala. Karena alasan ini banyak kasus Hepatitis B yang tidak
terdiagnosis dan terobati. Gejala utama dari Hepatitis B adalah sebagai
berikut:
1.
Urtikaria atau
artralgia sebelum terjadinya tanda sakit kuning menunjukkan infeksi HBV
(Lippincott William & Wilkins, 2008: 260)
2.
Mudah lelah
3.
Demam ringan
4.
Nyeri otot dan
persendian
5.
Mual dan muntah
6.
Sakit kepala
7.
Kehilangan nafsu
makan
8.
Nyeri perut
kanan atas
9.
Diare
10. Warna tinja seperti dempul (keabu-abuan)
11. Warna urine seperti teh
12. Warna kulit dan sklera mata kuning (jaundice), sering
disebut penyakit kuning.
13. Penurunan berat badan 2.5 - 5 kg (sumber: Unit
Transfusi Darah PMI Cabang Kota Yogyakarta)
VI.
Patofisiologi Hepatitis B
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut
"Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang
membungkus partikel inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada
partikel inti terdapat Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e
antigen (HBeAg).
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan
peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini
menyebabkan degrenerasi dan nekrosis sel perenchym hati. Respon peradangan
menyebabkan pembengkakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi
destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu
tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga
meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai
urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.
Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampai dengan
timbunya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara
komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan
kematian. Hepattis dengan sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya
gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan kronik akan sebagai karier
penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker
hati
Perjalanan infeksi virus hepatitis B kronik mengalami
3 fase, yaitu :
a). Fase replikasi virus yang tinggi tanpa
menimbulkan kerusakan jaringan hati, yang ditandai oleh adanya kerusakan
jaringan hati oleh kadar transaminase normal, kadar HbeAG dan DNA serum yang
tinggi. Dengan kelainan hitologis hati minimal terjadi pada pemeriksaan
jaringan hati secara histokimiawi ditemukan HbsAG dan HbeAg.
b). Fase hepatitis rendah berupa hepatitis kronik
ekserbasi akut yang terjadi secara spontan ditandai dengan kadar transminase
(SGOT & SGPT) meninggi dan menggambarkan usaha host yang peresisten untuk
mencoba mengeliminasi virus yang dari dalam tubuh.
c) Fase nonreplikasi ditemukan adanya anti
Hbe tanpa adanya DNA virus hepatitis B.
Gambaran klinis virus hepatitis B kronik adanya hubungan dengan kemungkinan
hepatitis B berasal dari daerah endemik yang mana virus hepatitis B dengan
carier rate yang meninggi bisa terjadi pada pengidap hepatitis kronik.
Hepatitis kronik berlangsung secara perlahan dan gejala penyakit tidak sesuai
dengan keluhan pasien. Kelainan hasil labolatorium terjadi pada bilirubin yang
meningkat, kadar HbsAG positif, dan DNA positif.
VII.
Pemeriksaan Fisik
a.
Keadaan
Umum
1. Kesadaran : compos mentis
2. Bentuk tubuh : sedang
3. Postur tubuh : normal
4. Warna kulit : putih
5. Turgor kulit : normal
b.
Tanda-Tanda
Vital
1. Suhu
2. Nadi
3. Tekanan darah
4. Respirasi
c.
Keadaan
Fisik (head to toe)
1. Kepala : bentuk simetris, distribusi rambut merata,
kebersihan rambut dan kulit kepala baik, tidak ada nyeri saat ditekan.
2. Mata : Posisi mata
simetris, pupil isokor, konjungtiva pucat,
penglihatan kabur, sklera ikterus.
3. Telinga : bentuk
simetris, pendengaran baik, telinga tampak bersih, dan tidak ada sekret.
4. Hidung : lubang hidung simetris, tidak
terdapat sekret, tidak terdapat pernapasan cuping hidung.
5. Mulut dan gigi:
keadaan bibir normal, bersih.
6. Leher : Tidak ada
pembengkakan, tidak ada nyeri tekan.
7. Thorax: Bentuk thorax simetris, respirasi
normal (16-20 kali/menit)
8. Abdomen: Permukaan
asimetris, terdapat nyeri tekan dan bising normal.
9. Ekstremitas :
- Atas : keadaan baik,
lemah.
- Bawah : keadaan baik, lemah.
VIII.
Pemeriksaan Diagnosis &
Penunjang
Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi,
petanda virologi, biokimiawi dan histologi.
1.
Pemeriksaan
serologi
·
Adanya HBsAg dalam serum merupakan pertanda
serologis infeksi hepatitis B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6
bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg
(anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi.
·
Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan
adanya replikasi aktif virus di dalam hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan
kadar HBV DNA. Namun tidak adanya HBeAg (negatif) bukan berarti tidak
adanya replikasi virus, keadaan ini dapat dijumpai pada penderita terinfeksi
HBV yang mengalami mutasi (precore atau core mutant).
2.
Pemeriksaan
virologi
Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting
karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.
3.
Pemeriksaan
biokimiawi
Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan
terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas
nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai
prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan
proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Menurut
Price dan Wilson (1995) bahwa kadar normal AST adalah 5-40 unit/ml,
sedangkan kadar normal ALT adalah 5-35 unit/ml.
4.
Pemeriksaan
histologi (biopsi)
Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati,
menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen
anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran
panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini atau
Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah dengan
Histologic Activity Index score. (JB
Suharjo, B Cahyono, 2006)
Sumber lain mengatakan
pemeriksaan diagnostik yang dapat memperkuat diagnosis adalah:
1.
ASR (SGOT) / ALT
(SGPT)
Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum
ikterik kemudian tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim – enzim intra
seluler yang terutama berada dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari
jaringan yang rusak, meningkat pada kerusakan sel hati
2.
Darah Lengkap
(DL)
Eritrosit menurun sehubungan dengan penurunan hidup eritrosit (gangguan
enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
3.
Leukopenia
Trombositopenia mungkin ada (splenomegali)
4.
Diferensia Darah
Lengkap
Leukositosis, monositosis, limfosit, atipikal dan sel plasma.
5.
Feses
Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati)
6.
Albumin Serum
Menurun, hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis
oleh hati dan karena itu kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati.
7.
Gula Darah
Hiperglikemia transien/hiperglikemia (gangguan fungsi hati).
8.
Anti HAVIgM
Positif pada tipe A
9.
HbsAG
Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A)
10. Masa Protrombin
Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat kerusakan sel hati atau
berkurang. Meningkat absorbsi vitamin K yang penting untuk sintesis protombin.
11. Bilirubin serum
Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk, mungkin
berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler)
12. Biopsi Hati
Menujukkan diagnosis dan luas nekrosis
13. Skan Hati
Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkin hati.
14. Urinalisa
Peningkatan kadar bilirubin. Gangguan eksresi bilirubin mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air,
ia dsekresi dalam urin menimbulkan bilirubinuria.
VIII.
Alur Masalah
1.
Pohon
masalah
|
IX.
Kriteria Diagnosis
Keadaan
|
Definisi Kriteria
|
Diagnostik
|
Hepatitis B Kronis
|
Proses nekro-inflamasi kronis hati disebabkan oleh
infeksi virus hepatitis B. Dapat dibagi menjadi hepatitis B kronis dengan HbeAG+ dan HbeAG-
|
1. HbsAG+
> 6 bulan
2. HBV DNA serum >
105 copies/ml
3. Peningkatan kadar
ALT/AST secara berkala/persisten
4. Biopsi hati
menunjukkan hepatitis kronis (skor nekro-inflamasi >4)
|
Carrier HbsAG inaktif
|
Infeksi virus hepatitis B persisten tanpa disertai
proses nekro-inflamasi yang signifikan
|
1. HbsAg+
> 6 bulan
2. HbeAg-,
anti Hbe+
3. HBV DNA serum <
105 copies/ml
4. Kadar ALT/AST
normal
5. Biopsi hati
menunjukkan tidak adanya hepatitis yang signifikan (skor nekro-inflamasi <
4)
|
(JB Suharjo, B Cahyono,
2006)
1. Therapy
Saat ini, ada 4 jenis obat yang
direkomendasikan untuk terapi hepatitis B kronis, yaitu: interferon alfa-2b,
lamivudin, adefovir, dan peginterferon alfa-2a. Hal yang harus
dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan obat adalah keamanan jangka panjang,
efikasi dan biaya. Walaupun saat ini pilihan terapi hepatitis B kronis menjadi
lebih banyak, namun persoalan yang masih belum terpecahkan adalah problem
resistensi obat dan tingginya angka relaps saat terapi dihentikan.
a. Interferon
Interferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung tetapi merangsang
terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus.
Berdasarkan studi meta analisis yang melibatkan 875 pasien hepatitis B kronis
dengan HbeAg positif: serokonversi HBeAg terjadi pada 18%, penurunan HBV DNA
terjadi pada 37% dan normalisasi ALT terjadi pada 23% . Salah satu
kekurangan interferon adalah efek samping dan pemberian secara injeksi. Dosis
interferon 5-10 juta MU 3 kali / minggu selama 16 minggu.
b. Lamivudin
Lamivudin merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi selama
siklus replikasi virus hepatitis B.
Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA,
normalisasi ALT, serokonversi HbeAg dan mengurangi progresi fibrosis secara
bermakna dibandingkan plasebo. Namun lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan
bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari 32% setelah terapi
selama satu tahun dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun. Risiko
resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian. Dalam
suatu studi di Asia, resistensi genotip meningkat dari 14% pada tahun pertama
pemberian lamivudin, menjadi 38%, 49%, 66% dan 69% masing masing pada tahun ke
2,3,4 dan 5 terapi.
c. Adefovir
Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate (dAMP),
yang sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai anti virus terhadap
hepatitis B kronis. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari DNA
virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10 mg/hari oral paling
tidak selama satu tahun. Marcellin et al (2003) melakukan penelitian pada 515
pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg positif yang diterapi dengan adefovir
10mg dan 30mg selama 48 minggu dibandingkan plasebo. Disimpulkan bahwa adefovir
memberikan hasil lebih baik secara signifikan (p<0,001) dalam hal: respon
histologi, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan penurunan kadar HBV DNA.
Keamanan adefovir 10 mg sama dengan plasebo. Hadziyanmis et al memberikan adefovir
pada penderita hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif. Pada pasien yang
mendapatkan 10 mg adefovir terjadi penurunan HBV DNA secara bermakna
dibandingkan plasebo, namun efikasinya menghilang pada evaluasi minggu ke 48.
Pada kelompok yang medapatkan adefovir selama 144 minggu efikasinya dapat
dipertahankan dengan resistensi sebesar 5,9%. Kelebihan adefovir dibandingkan
lamivudin, di samping risiko resistennya lebih kecil juga adefovir dapat
menekan YMDD mutant yang resisten terhadap lamivudin.
d. Peginterferon
Lau et al melakukan penelitian terapi peginterferon tunggal dibandingkan
kombinasi pada 841 penderita hepatitis B kronis. Kelompok pertama mendapatkan
peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + plasebo tiap hari, kelompok ke
dua mendapatkan peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + lamivudin 100
mg/hari dan kelompok ke tiga memperoleh lamivudin 100 mg/hari, selama 48
minggu. Hasilnya pada akhir minggu ke 48, yaitu:
1) Serokonversi HBeAg tertinggi pada
peginterferon tanpa kombinasi, yaitu 27%, dibandingkan kombinasi (24%) dan
lamivudin tunggal (20%).
2) Respon virologi tertinggi pada
peginterferon + lamivudin (86%).
3) Normalisasi ALT tertinggi pada lamivudin
(62%).
4) Respon HBsAg pada minggu ke 72 :
peginterferon tunggal 8 pasien, terapi kombinasi 8 pasien dan lamivudin tidak
ada serokonversi.
5) Resistensi (mutasi YMDD) pada minggu ke 48
didapatlan pada: 69 (27%) pasien dengan lamivudin, 9 pasien (4%) pada kelompok
kombinasi, dan
6) Efek samping relatif minimal pada ketiga
kelompok. Disimpulkan bahwa berdasarkan hasil kombinasi (serokonversi HBeAg,
normalisasi ALT, penurunan HBV DNA dan supresi HBsAg), peginterferon memberikan
hasil lebih baik dibandingkan lamivudin.
(JB Suharjo, B Cahyono, 2006)
X.
Komplikasi
1.
Sirosis
hepatis
2.
Hepatomegali
BAB III
ASKEB TEORI
I.
Pengkajian Hepatiis B
1.
Identitas
a. Identitas pasien meliputi nama, umur,
jenis kelamin, status, agama, suku, kewarganegaraan, bahasa, pendidikan,
pekerjaan, alamat, diagnosa medis, no. Rekam medis.
b. Penanggung Jawab, meliputi : nama, umur, jenis
kelamin, agama, alamat, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, hubungan dengan
pasien.
2. Alasan dirawat di rumah sakit
a. Alasan dirawat: Terjadi penurunan fungsi hati.
b. Keluhan utama: Merasa lemah, nyeri abdomen,
tubuhnya kuning.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sebelum sakit ini: Pasien pernah mengalami tifus 5 bulan yang
lalu.
b.
Riwayat
kesehatan sekarang : Pasien merasakan keluhan ini sejak 1 tahun terakhir,tapi hal tersebut belum
sampai mengganggu aktivitasnya.Tetapi tiba-tiba 2 hari yang lalu pasien mengalami nyeri hebat
pada ulu hati dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
c.
Riwayat
kesehatan keluarga : keluarga pasien
tidak ada yang menderita
sakit parah, tapi kakek pasien meninggal
karena Stroke.
4.
Data Bio-Psiko-Sosio-Spiritual
Teori Virginia Henderson, kebutuhan pasien
dapat dilakukan dari segi:
a. Bernafas
Pada saat pengkajian pasien tidak
mengalami kesulitan saat bernafas.
b. Makan
Pasien makan tiga kali sehari dan hanya
habis sepertiga porsi karena pasien
merasa mual dan pasien mengatakan terjadi penurunan nafsu makan.
c. Minum
Pada saat pengkajian pasien
mengatakan minum kira – kira 7 kali perhari dengan jumlah kira – kira 240 ml.
d. Eliminasi BAB & BAK
Pasien BAB 1 kali sehari dengan konsisitensi lembek. Pasien mengatakan 3 – 4 kali sehari,
baunya khas dan berwarna gelap, diare feses berwarna seperti tanah liat.
e.
Gerak
aktivitas
1)
Kemampuan ADL :
a)
Kemampuan untuk makan: Pasien mampu menyuap makanan sendiri.
b)
Kemampuan untuk mandi: Sejak sakit pasien dibantu
mandi oleh keluarga 2 kali sehari.
c)
Kemampuan untuk toileting: Pasien mampu ketoilet
untuk BAB dan BAK.
d)
Kemampuan untuk berpakaian: Pasien mampu menggunakan pakaian sendiri.
e)
Kemampuan untuk instrumentalia : Pasien mampu
mengunakan alat – alat disekitarnya.
2) Kemampuan mobilisasi
Pasien mampu mengubah posisi di tempat tidur, mampu duduk di tempat tidur,
ketika pasien berdiri dan berpindah pasien merasakan pusing.
f.
Istirahat
tidur
Jumlah tidur pasien 10 jam, pasien tidur dari pukul 21.00 wita – 07.00
wita.
g.
Pengaturan
suhu tubuh
Pada saat pengkajian suhu tubuh
pasien normal yaitu 38° C.
h.
Kebersihan
diri
Kebersihan diri pasien terjaga. Untuk aktivitas mandi, pasien dibantu oleh
keluarga pasien.
i.
Rasa
nyaman
Pasien mengatakan sakit pada bagian kepala, terkadang disertai nyeri ulu
hati atau nyeri pada bagian abdomen.
j.
Rasa
aman
Pada saat pengkajian pasien
mengatakan cemas dan raut wajah pasien
tampak khawatir.
k.
Sosial
1) Pasien mampu berkomunikasi dengan orang
lain namun pada saat berkomunikasi pasien tampak lemah.
2) Sosialisasi orientasi
terhadap orang, waktu dan tempat baik.
l.
Pengetahuan
belajar
Pasien barsedia mengikuti prosedur keperawatan dan mampu mengikuti pada
saat pemberian informasi mengenai penyakit yang diderita pasien. Pasien mampu
mengikuti nasehat-nasehat yang diberikan oleh tenaga medis.
m.
Rekreasi
Pasien mengatakan untuk mengisi waktu
luang, pasien menonton TV dan kadang – kadang berbincang-bincang dengan
keluarga atau kerabat.
n.
Spiritual
Pasien beragama hindu, dan hanya bersembahyang di tempat tidur saja. Setiap
hari keluarga pasien mengahaturkan banten dan bersembahyang di padmasana rumah
sakit.
5.
Pemeriksaan Fisik
a.
Keadaan
Umum
1)
Kesadaran
: compos mentis
2)
Bentuk tubuh : sedang ( TB : 160, BB : 58 )
3)
Postur
tubuh : normal
4)
Warna
kulit : putih
5)
Turgor
kulit : normal
b.
Tanda-Tanda
Vital
1)
Suhu
2)
Nadi
3)
Tekanan
darah
4)
Respirasi
c.
Keadaan
Fisik (head to toe)
1)
Kepala
: bentuk simetris, distribusi rambut
merata, kebersihan rambut dan kulit kepala baik, tidak ada nyeri saat ditekan.
2)
Mata : Posisi mata simetris, konjungtiva pucat,
penglihatan kabur, sklera ikterus.
3)
Telinga : bentuk simetris, pendengaran baik,
telinga tampak bersih, dan tidak ada sekret.
4)
Hidung
: lubang hidung simetris, tidak terdapat sekret, tidak terdapat pernapasan
cuping hidung.
5)
Mulut dan gigi : keadaan bibir normal, gigi
lengkap, tidak menggunakan gigi palsu.
6)
Leher : Tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri
tekan.
7)
Thorax
: Bentuk thorax simetris, respirasi normal (16-20 kali/menit)
8)
Abdomen : Permukaan asimetris, terdapat nyeri tekan
dan bising normal.
9)
Ekstremitas
:
- Atas : keadaan baik,
lemah.
- Bawah : keadaan baik, lemah.
d. Data subjektif :
ü Pasien mengeluh sakit
kepala, nyeri pada otot, nyeri pada perut bagian kanan atas, mual, anoreksia
e. Data objektif :
ü Pasien muntah hingga
4 kali dalam 24 jam
ü Perut kanan atas
membesar dan nyeri saat ditekan
ü Jumlah makanan yang
dimakan sedikit
ü Sklera menjadi kuning dan selanjutnya
diikuti oleh seluruh tubuh
ü Urin secara makroskopik berwarna seperti
teh tua dan bila dikocok akan mengeluarkan busa berwarna kuning kehijauan
ü Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
hiperbilirubinimia ringan dan hiperbilirubinuria.
ü
XII.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
yang mungkin muncul:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
(bilirubin indirek) dan distensi abdominal ditandai dengan klien mengeluh nyeri
dengan skala nyeri 3, klien tampak meringis, klien tampak melindungi area yang
nyeri.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan (gangguang emulsi lemak)
ditandai dengan IMT kurang dari batas normal (nilai normal IMT: 18,5 – 24,9),
perasaan nyeri perut saat makan.
3. Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran
prostaglandin ditandai dengan kulit klien teraba hangat, suhu aksila diatas
normal (normal: 36,50 – 37,50 C).
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi
gangguan metabolik (peningkatan garam empedu pada darah) ditandai dengan kulit
tampak kemerahan, adanya pruritus.
5. Keletihan berhubungan dengan status penyakit
(penurunan kadar glukosa darah) ditandai dengan klien mengatakan tidak mampu
melakukan aktivitas seperti biasanya, klien tampak mengantuk, klien sering
mengeluh mengenai fisiknya, klien mengalami peningkatan kebutuhan dalam
beristirahat.
6. Gangguan sensori persepsi: pengelihatan berhubungan
dengan perubahan dalam ketajaman sensori (sklera ikterik) ditandai dengan
pandangan kabur.
7. Defisit perawatan diri: mandi berhubungan dengan
kelemahan ditandai dengan klien tidak mampu mengakses kamar mandi,
ketidakmampuan membersihkan diri sendiri.
8. Gangguan body image berhubungan dengan kondisi
penyakit (ikterik) ditandai dengan klien mengatakan malu dengan kondisi yang
dialaminya.
9. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
ditandai dengan klien tampak gelisah, klien mengalami insomnia, klien tampak
khawatir akan kondisinya.
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi mengenai penyakit ditandai dengan klien tampak gelisah, klien selalu
bertanya-tanya mengenai kondisinya.
XIII. Perencanaan
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (bilirubin indirek) dan
distensi abdominal
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24
jam diharapkan nyeri klien dapat teratasi dengan outcomes:
1.
Klien tidak
tampak meringis.
2.
Klien tidak
melindungi area nyeri.
3.
Skala nyeri: 0
(skala 0-10)
Intervensi:
a. Kaji jenis dan tingkat nyeri pasien. Kaji faktor yang
dapat memperberat atau mengurangi nyeri : lokasi, durasi, intensitas dan
karakteristik nyeri serta gejala psikologis.
Rasional : Memantau status nyeri pasien.
b. Minta pasien untuk menggunakan skala 1 sampai 10 untuk
menjelaskan tingkat nyeri pasien.
Rasional : Untuk memfasilitasi pengkajian yang akurat tentang tingkat nyeri pasien.
c. Pantau dan catat TTV.
Rasional : Perubahan TTV dapat menunjukkan penurunan ataupun perkembangan kondisi.
d. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ex. Temperatur ruangan,
penyinaran, dll)
Rasional : Suhu ruangan dan penyinaran yang berlebih dapat meningkatkan
ketidaknyamanan.
e. Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman dan
gunakan bantal untuk membebat atau menyokong daerah yang sakit bila diperlukan.
Rasional : Untuk menurunkan ketegangan atau spasme otot dan untuk mendistribusikan
kembali tekanan pada bagian tubuh.
f. Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri.
Rasional : Kenyamanan menunjukkan manajemen nyeri yang adekuat.
g. Kolaborasi
Berikan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis.
Rasional : Analgetik berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri.
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan distensi abdominal ditandai dengan IMT kurang dari batas
normal (nilai normal IMT: 18,5 – 24,9), perasaan nyeri perut saat makan.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
ketidakseimbangan nutrisi dapat teratasi dengan outcomes:
1.
IMT dalam batas
normal (18,5 – 24, 59)
2.
Terjadi
peningkatan dalam porsi makan.
3.
Berat badan
pasien bertambah ... kg setiap minggu.
4.
Pasien makan
secara mandiri tanpa didorong.
Intervensi:
a. Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
Observasi dan catat masukan makanan pasien.
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, mengawasi masukan kalori dan kualitas
kekurangan konsumsi makanan.
b. Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : Mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi
c. Berikan makanan sedikit dan frekuensi sering dan atau
makan diantara waktu makan.
Rasional : Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga
mencegah distensi gaster.
d. Berikan dan bantu higiene mulut dengan baik, sebelum
dan sesudah makan.
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan pemasukan oral. Menurunkan pertumbuhan
bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi.
e. Kolaborasi
Konsul dengan ahli gizi
Rasional : Membantu dalam membuat rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
f. Pantau pemeriksaan laboratorium, misalnya Hb/Ht, BUN,
albumin, B12, elektrolit serum
Rasional : Meningkatkan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet
nutrisi yang dibutuhkan.
Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran
prostaglandin ditandai dengan kulit klien teraba hangat, suhu aksila diatas normal
(normal: 36,50 – 37,50 C).
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
hipertermi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1.
Suhu tubuh dalam
batas normal (36,50 – 37,50 C)
2.
Kulit teraba
normal
Intervensi:
a. Pantau suhu klien
(derajat dan pola); perhatikan menggigil/diaphoresis.
Rasional : Suhu 38,90 – 41,10
menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam
diagnosis, misalnya kurva demam lanjut berakhir lebih dari 24 jam menunjukkan
pneumonia pneumotokal, demam scarlet atau tifoid; demam remiten menunjukkan
infeksi paru; kurva intermiten atau demam yang kembali normal sekali dalam
periode 24 jam menunjukkan episode septic, endokarditis septic, atau TB.
Menggigil sering mendahului puncak suhu.
b. Pantau suhu
lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan atau jumlah selimut harus
diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
c. Anjurkan klien untuk mempertahankan asupan cairan yang
adekuat (>2000 ml/hari kecuali terdapat kontraindikasi penyakit jantung
atau ginjal)
Rasional : Untuk mencegah dehidrasi akibat penguapan cairan karena suhu tubuh yang
tinggi.
d. Berikan kompres
hangat.
Rasional : Membuat vasodilatasi pembuluh darah
sehingga dapat membantu mengurangi demam
e. Kolaborasi
Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), asetaminofen (Tylenol).
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan
aksi sentralnya pada hipotalamus.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi
gangguan metabolik (peningkatan garam empedu pada darah) ditandai dengan kulit
tampak kemerahan, adanya pruritus.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1.
Menunjukkan
tidak adanya kerusakan kulit.
2.
Menunjukkan
turgor kulit yang normal.
3.
Pruritus
berkurang
Intervensi:
a. Inspeksi kulit pasien, jelaskan dan dokumentasikan
kondisi kulit pasien dan laporkan perubahan.
Rasional : Untuk menentukan keefektifan regimen perawatan kulit.
b. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan
tentang masalah kulitnya.
Rasional : Tindakan ini membantu untuk mengurangi ansietas dan meningkatkan
keterampilan koping.
c. Laksanankan program regimen penanganan untuk kulit
yang rusak dan pantau kemajuannya. Laporkan respon terhadap regimen penanganan.
Rasional : Untuk mempertahankan atau memodifikasi terapi saat ini.
d. Berikan pengarahan kepada pasien dan keluarga dalam
program perawatan kulit.
Rasional : Untuk mendorong kepaatuhan.
e. Atur posisi pasien supaya nyaman dan meminimalkan
tekanan pada kulit yang rusak. Ubah posisi pasien selama 2 jam. Pantau frekuensi
pengubahan posisi pasien dan kondisi kulitnya.
Rasional : Tindakan tersebut mengurangi tekanan, meningkatkan sirkulasi,
dan mencegah kerusakan kulit.
f. Bantu pasien untuk melakukan tindakan hygiene dan
kenyamanan.
Rasional : Untuk meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan dan untuk
mencegah infeksi.
g. Kolaborasi
Berikan obat nyeri sesuai program dan pantau keefektifannya.
Rasional : Pengurangan nyeri diperlukan untuk mempertahankan kesehatan.
Keletihan berhubungan dengan status penyakit
(penurunan kadar glukosa darah) ditandai dengan klien mengatakan tidak mampu
melakukan aktivitas seperti biasanya, klien tampak mengantuk, klien sering
mengeluh mengenai fisiknya, klien mengalami peningkatan kebutuhan dalam
beristirahat.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
keletihan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1.
Menunjukkan
kemampuan dalam melakukan aktivitas
2.
Kebutuhan dalam
beristirahat kembali normal
3.
Menunjukkan
pengetahuan mengenai tindakan-tindakan untuk mengurangi keletihan
Intervensi:
a. Ajarkan pasien untuk hemat energy dengan cara
istirahat, perencanaan dan penentuan prioritas.
Rasional : Untuk mencegah atau meringankan keletihan.
b. Anjurkan pasien untuk selingi aktivitas dengan periode
istirahat.
Rasional : Penjadwalan periode istirahat yang teratur dapat membantu
menurunkan keletihan dan meningkatkan stamina.
c. Dorong pasien untuk makan makanan yang kaya zat besi
dan mineral, jika tidak dikontraindikasikan.
Rasional : Tindakan tersebut dapat membantu menghindari anemia dan demineralisasi.
d. Tunda makan bila pasien mengalami keletihan.
Rasional : Agar kondisi pasien tidak memburuk.
e. Berikan makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering.
Rasional : Untuk menghemat energi pasien dan mendorong peningkatan asupan
diet.
f. Tetapkan pola tidur yang teratur.
Rasional : Tidur pada malam hari 8 sampai 10 jam dapat membantu mengurangi
keletihan.
g. Hindari situasi penuh emosional.
Rasional : Dapat memperburuk keletihan pasien.
h. Diskusikan efek keletihan terhaadap aktivitas hidup
sehari-hari dan tujuan personal. Gali bersama pasien hubungan antara keletihan
dan proses penyakit.
Rasional : Membantu meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal istirahat
dan aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Hepatitis. (online).
http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=37
(akses tanggal 17 Mei 2011)
Anonim. 2007. Hepatitis B. (online).
http://golongandarah.net/artikel_detail.php?act=view&id=1
(akses 17 Mei 2011)
Anonim. 2008. Hepatitis B. (online).
http://www.totalkesehatananda.com/hepatitisb1.html
(akses tanggal 17 Mei 2011)
Anonim. 2009. Hepatitis B.
(online).
http://www.jakartalantern.com/content/health-topic/hepatitis/77-hepatitis-b.html
(akses tanggal 17 Mei 2011)
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi Penyakit. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland.
Jakarta: EGC
JB Suharjo, B Cahyono. 2006. Tinjauan
Kepustakaan Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronis. (online: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_150_Diagnosismenajemenhepatiskronis.pdf/05_150_Diagnosismenajemenhepatiskronis.html, akses tanggal: 17 Mei 2011)
Lippincott Willian & Wilkins. 2008. Nursing
The Series For Clinical Exellence – Memahami Berbagai
Macam Penyakit. Jakarta: Indeks.
Taylor, Cinthya M.; Ralph, Sheila Sparks. 2011. Diagnosis
Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta: EGC.
WHO. 2008. Hepatitis B. (online: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/, akses tanggal: 17 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar